Batik Nusa Kencana Balpung (Kuning Abstrak)






Kode : BLS-045
Kategori : Blouse Panjang
Model : Bros, Muslimah, Luna Maya
Jenis : Batik Cap
Motif : Balpung (Tambal Tepung/Campuran Motif)
Warna : Kuning Abstrak
Bahan : Katun
Ukuran : All Sizes
Harga : Rp. 80.000,- (diskon 20 % untuk pembelian diatas 10 pcs)
Kontak : Begras Satria (085223529655)

Blouse Nusa Mahakam Gradasi (Merah Ungu)






Kode : BLS-058
Kategori : Blouse Panjang
Model : Sabuk, Muslimah, Manohara
Motif : Kontemporer, Samarinda
Warna : Gradasi Merah Ungu
Bahan : Katun
Ukuran : All Sizes
Harga : Rp. 80.000,- (diskon 20 % untuk pembelian diatas 10 pcs)
Kontak : Begras Satria (085223529655)

Blouse Dewasa (Desember 2009)





Aneka Blouse Warna Cerah




Kemeja Sogan Hijau (KMJ-001)

Sogan Hijau KMJ-001

Harga per potong Rp. 75.000,-
per kodi (20 potong) Rp. 1.300.000,-
per 10 kodi Rp. 11.500.000,-

All Sizes
Tersedia berbagai warna
bahan katun prima
menggunakan puring

Hubungi 08522 352 9655 (Begras)

Mari Mengenal Batik: Pudarnya Pemaknaan Motif Batik

06/07/09 07:49

Berbicara soal batik memang selalu identik dengan masyarakat Jawa. Hal ini tentunya tak lepas dari adanya motif atau gambar pada kain yang berasal dari kerajaan di wilayah Jawa. Namun barangkali tak banyak orang (terutama kaum muda) yang mengetahui bagaimana asal muasal adanya batik ini. Apalagi mengenal lebih jauh mengenai berbagai jenis motif dan juga filosofinya.

Untuk itu, dengan tuntunan seorang kurator museum batik saya akan mengajak Anda untuk sedikit mengupas aneka motif tradisional yang sampai dengan saat ini masih banyak digunakan oleh masyarakat jawa tersebut. “Sebenarnya batik mulai dikenal masyarakat karena aturan dari raja yang dianggap sebagai wakil dewa pada masa 1927-an,” ungkap Drs. Bejo Haryono alias Pak Bejo memulai obrolan tentang batik.

“Kalau berbicara soal motif, sangat luas. Karena kita berpacu pada beberapa sumber yang harus kita ungkap.” Misalnya saja Sewan Soesanto, ia membagi batik dalam sembilan kelompok berdasarkan nama, yakni lereng, semen, parang, truntum, kawung, gringsing, ceplok, nitik, motif pinggiran, dan terang bulan. Sementara berdasarkan balai penelitian batik, motif itu terbagi menjadi tiga kelompok, motif figuratif, semi figuratif, dan non figuratif. Pengelompokan yang lain adalah berdasarkan warna, yakni bambangan (merah), bangjo (merah-hijau), dan kelengan (ungu). Sebagian lagi mengelompokkan batik berdasarkan pembatiknya sendiri seperti, Wan Tirto dan Harjo Negoro.

“Namun secara umum batik terbagi dua macam, yakni geometris dan non geometris. Ini menurut Vanderhoop,” sambung bapak dua anak ini. Motif geometris atau yang berdasarkan ilmu ukur dapat kita lihat pada batik yang gambarnya garis-garis seperti kawung, parang, dan panji. “Secara filosofi, batik ini menggambarkan adanya birokrasi pada pemerintahan. Ada keteraturan dari raja sampai dengan rakyat, atau istilahnya manunggaling kawula gusti.”

Sementara motif non geometris yang lebih bebas dapat ditemukan pada batik semen, atau yang bergambar binatang, tanaman, hutan, dan sejenisnya. “Ya, itu menggambarkan kehidupan semen, yakni kehidupan yang semi. Semi itu tumbuh, tumbuh itu berkembang. Nah, orang yang memakai batik ini mempunyai harapan bahwa dalam kehidupannya akan tercukupi dengan sandang, pangan, dan papan,” lanjut cerita Pak Bejo sembari menunggu museum yang sepi pengunjung.

“Dalam perkembangannya, orang memakai batik bukan karena makna atau filosofinya, namun lebih pada kepantasan atau keindahan saja.” Ketidakteraturan tersebut terlihat dari banyaknya anak-anak muda sekarang memakai batik parang dan kawung. Padahal sebenarnya batik motif ini tidak boleh dipakai masyarakat umum, karena hanya diperuntukkan bagi kerabat kraton. “Parang itu hanya untuk raja. Ini mengacu pada hukum adat yang memang tidak tertulis,” jelasnya lagi.

Ini bukan mutlak kesalahan dari para generasi muda. Karena, bahkan di lingkungan kraton yang merupakan akar tumbuhnya batik pun pemaknaan ini mulai memudar. Walaupun memang masih ada pemakaian berdasarkan penggolongan itu, tapi tetap ada pemudaran. “Padahal kalau ditinjau dari sejarah, batik ini kan muncul dan berawal dari kerjaan sampingan para selir yang jenuh karena menunggu kunjungan sang raja. Setelah itu baru dikembangkan oleh para seniman kerajaan dan disebarkan oleh para saudagar. Batik saudagaran inilah yang ditiru pabrik dan kemudian menyebar di masyarakat,” ungkap bapak kelahiran 1948 ini. (les)

Sumber : Truly Jogja

Batik dan Persebaran Islam

Penyebaran kesenian batik ternyata tidak lepas dari pengaruh penyebaran Islam di tanah air. Riwayat pembatikan di daerah Jawa Timur lainnya adalah di Ponorogo, yang kisahnya berkaitan dengan penyebaran ajaran Islam di daerah ini. Riwayat Batik. Disebutkan masalah seni batik didaerah Ponorogo erat hubungannya dengan perkembangan agama Islam dan kerajaan-kerajaan dahulu. Konon, di daerah Batoro Katong, ada seorang keturunan dari kerajaan Majapahit yang namanya Raden Katong adik dari Raden Patah. Batoro Katong inilah yang membawa agama Islam ke Ponorogo dan petilasan yang ada sekarang ialah sebuah mesjid didaerah Patihan Wetan.

Perkembangan selanjutanya, di Ponorogo, di daerah Tegalsari ada sebuah pesantren yang diasuh Kyai Hasan Basri atau yang dikenal dengan sebutan Kyai Agung Tegalsari. Pesantren Tegalsari ini selain mengajarkan agama Islam juga mengajarkan ilmu ketatanegaraan, ilmu perang dan kesusasteraan. Seorang murid yang terkenal dari Tegalsari dibidang sastra ialah Raden Ronggowarsito. Kyai Hasan Basri ini diambil menjadi menantu oleh raja Kraton Solo.

Waktu itu seni batik baru terbatas dalam lingkungan kraton. Oleh karena putri keraton Solo menjadi istri Kyai Hasan Basri maka dibawalah ke Tegalsari dan diikuti oleh pengiring-pengiringnya. disamping itu banyak pula keluarga kraton Solo belajar dipesantren ini. Peristiwa inilah yang membawa seni bafik keluar dari kraton menuju ke Ponorogo. Pemuda-pemudi yang dididik di Tegalsari ini kalau sudah keluar, dalam masyarakat akan menyumbangkan dharma batiknya dalam bidang-bidang kepamongan dan agama.

Daerah perbatikan lama yang bisa kita lihat sekarang ialah daerah Kauman yaitu Kepatihan Wetan sekarang dan dari sini meluas ke desa-desa Ronowijoyo, Mangunsuman, Kertosari, Setono, Cokromenggalan, Kadipaten, Nologaten, Bangunsari, Cekok, Banyudono dan Ngunut. Waktu itu obat-obat yang dipakai dalam pembatikan ialah buatan dalam negeri sendiri dari kayu-kayuan antara lain; pohon tom, mengkudu, kayu tinggi. Sedangkan bahan kainputihnyajugamemakai buatan sendiri dari tenunan gendong. Kain putih import bam dikenal di Indonesia kira-kira akhir abad ke-19.

Pembuatan batik cap di Ponorogo baru dikenal setelah perang dunia pertama yang dibawa oleh seorang Cina bernama Kwee Seng dari Banyumas. Daerah Ponorogo awal abad ke-20 terkenal batiknya dalam pewarnaan nila yang tidak luntur dan itulah sebabnya pengusaha-pengusaha batik dari Banyumas dan Solo banyak memberikan pekerjaan kepada pengusaha-pengusaha batik di Ponorogo. Akibat dikenalnya batik cap maka produksi Ponorogo setelah perang dunia petama sampai pecahnya perang dunia kedua terkenal dengan batik kasarnya yaitu batik cap mori biru. Pasaran batik cap kasar Ponorogo kemudian terkenal seluruh Indonesia.

Sumber : batikindojava.blogspot.com

Outlet

Pintu Utara Pasar Ajibarang
Banyumas - Jawa Tengah

Office

Jl. Kalpataru V No 109 Purwosari
Purwokerto - Jawa Tengah